Malu Yang Tergadai Di Sosial Media

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. Saudara muslim/muslimah yang dirahmati Allah Swt. Mengamati fenomena media sosial saat ini dengan berbagai konten yang dipertontonkan, kita harus harus menyadari bahwa petapa pentingnya memupuk rasa malu sehingga hal ini mampu mengendalikan untuk tidak turut serta dalam perbuatan maksiat. Abu Mas’ud Uqbah Al-Anshari berkata: Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari perkataan kenabian yang pertama adalah: ‘Bila engkau tidak malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu” (HR Bukhari). Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadits ini. Yang salah satunya dijelaskan dalam hadits ini Rasul mengeluarkan ancaman. Seakan-akan beliau berkata bahwa kalau engkau sudah tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki, karena Allah SWT akan membalas perbuatan itu. Ungkapan seperti ini bukan sebuah perintah, tapi ancaman dan larangan. Hadits ini adalah peringatan sekaligus ancaman kepada mereka yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Secara umum, rasa malu ada dua macam. Yaitu, malu sebagai karakter pembawaan sejak manusia lahir. Yang kedua, malu yang tumbuh sebagai hasil pembentukan karakter. Rasulullah Saw dalam hadits ini lebih merujuk pada malu dalam bentuk kedua. Dengan demikian kita wajib merawat dan mengembangkan rasa malu ini karena rasa malu adalah sumber kebaikan dan pembentuk akhlak mulia. Karena itu, malu menjadi salah satu pangkal keimanan seseorang, bagian penting dari salah satu pengendali perilaku dan sikap kita sebagai seorang muslim.

Tata cara pakaian muslimah memang sudah diatur secara syariat, namun demikian islam tidak mengatur secara detail akan model pakaian, sehingga sebenarnya seorang muslimah tidak selayaknya merasa terkekang dengan kewajiban menutup aurat. Muslimah yang mengumbar aurat, berjoget-joget di sosial media sehingga perilaku dan lekuk tubuhnya “dinikmati” oleh mereka yang bukan mahram di dunia maya yang tanpa batas. Betapa mengerikan konten-konten media sosial saat ini, perilaku-perilaku menyimpang yang dipertontonkan tanpa rasa malu. Menjadikan tren hijab sebagai sebatas gaya berbusana dengan mengesampingkan adab-adab yang harus dijaga, seperti saat ini “midi dres “ yang sedang tren di kalangan muslimah, busana muslimah sebatas betis yang seharusnya diperlakukan selayaknya pakaian bagian atas yang seharusnya dipadankan dengan pakaian bawah seperti rok atau celana panjang, pun demikian sering kali dipadu padankan jilbab yang tidak menutup dada sehingga masih menampakkan aurat yang seharusnya termasuk bagian yang harus ditutup. Sebagai mana halnya wanita-wanita jahiliyah dahulu memakai penutup kepala dan menutupkan ke bagian punggung mereka sehingga tampak leher dan telinga mereka. Sehingga kemudian Allah melarang hal itu. Rasulullah SAW bersabda: “Dua golongan yang pasti masuk neraka, pertama suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk dengannya. Dan yang kedua adalah wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Ia berjalan berlenggak-lenggok menggoyangkan (bahu dan punggungnya) dan rambutnya (disasak) seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim No. 2128).  Sebagai muslim perlu memperbaiki pemahaman kita tentang batasan aurat seorang muslimah berpegang pada firman Allah Swt. : “Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”  (Al-Ahzab: 59).

Di era teknologi yang canggih dewasa ini, beberapa aplikasi media sosial yang diciptakan, secara tidak langsung mendorong muslim dan muslimah untuk meninggalkan rasa malu. Berbagai ekspresi perilaku dipertontonkan yang berpotensi merendahkan diri. Konten-konten tentang perilaku sex bebas yang dihadirkan dalam podcats-podcast secara vulgar, sesuatu yang sebenarnya adalah aib yang harus ditutupi namun diperbincangkan tanpa rasa malu. Naudzubillah… tsumma naudzubillah, semoga Allah Swt. dengan sifat Rahman dan Rahimnya melindungi upaya-upaya kita dalam menjaga keluarga kita dari kedzaliman. Allah Swt mampukan kita menjaga keluarga kita sesuai dengan firmannya “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At Tahrim: 6)

Kita sebagai muslim yang cerdas harus mampu memanfaatkan media sosial untuk sesuatu yang bermanfaat, menyampaikan pesan-pesan positif sebagai upaya antisipasi dampak buruk dari penggunakan media sosial. Paham batasan-batasan yang bisa ditampilkan di media sosial bahwa penting akan adanya adab, norma atau rambu-rambu dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Hal ini merupakan dasar untuk mencapai tujuan hidup yang selaras, bertanggung jawab dan layak. Menjadi sebuah keharusan untuk memahami bahwa setiap tindakan yang dilakukan beriringan dengan tanggung jawab terhadap azas kapatutan dengan norma sosial dan ketuhanan. Menjaga kehormatan diri dengan tidak melanggar nilai kebenaran dan kemanusiaan. Menjadikan norma-norma moral sebagai kebiasaan sehingga biasa melakukan hal baik sesuai norma-norma moral tidak lagi menjadi hal yang memberatkan bukan membiasakan hal-hal yang bertentangan dengan syariat karena terpengaruh konten-konten yang sangat banyak beredar di berbagai media sosial. Mencukupkan syariat sebagai pegangan dalam bermuamalah termasuk dalam bermedia sosial, malu ketika melakukan hal-hal yang melanggar syariat dan menganggap wajar hal-hal yang demikian. Wallahu a’lam bishawab

Penulis: Nuning Guruh Sri Wulandari, A.Md.