Pendidikan Seks Bagi Anak dalam Islam

Pendidikan seks dan seksualitas adalah suatu proses pengajaran dan pemberian pemahaman tentang jenis kelamin dan karakteristik laki-laki dan perempuan berdasarkan faktor psikis, biologis dan fisiologis.

Dalam teori psikoanalisa Sigmund Freud, pendidikan seksual sebenarnya sudah dimulai sejak seorang bayi lahir, yaitu sejak adanya hubungan pertama antara anak dan orang tuanya, dan yang paling menentukan adalah keadaan lingkungan sekitar. Pada permulaan inilah, sifat-sifat seorang anak terbentuk.

Maka dari itu, Sulistiyo (1997:20) mengungkapkan bahwa anak yang dididik oleh keluarga yang bahagia, maka akan membentuk perkawinan dan keluarga yang bahagia pula, tentunya disertai dengan pendidikan mengenai moral, etik dan tanggung jawab.

Selain itu, pengetahuan tentang seks sejak dini akan melindungi anak-anak dari perilaku seks yang menyimpang serta menjauhkan dari berbagai penyakit yang mematikan.

Muhammad Nur bin Abdul Hafidz dalam Manhaj Tarbiyatu an-Nabawiyah li at-Thifli mengemukakan bahwa terdapat prinsip-prinsip pendidikan seksual dalam Islam yang berhubungan dengan kehidupan berkeluarga. Pendidikan ini adalah upaya pencegahan preventif terhadap perilaku menyimpang. Di antaranya adalah adab meminta izin,  menanamkan jiwa maskulin  feminin dan menanamkan rasa malu.

Islam mewajibkan adab meminta izin bagi anak yang dimulai sejak kecil di tahap awal mereka belajar sampai ketika mereka telah dewasa dan mencapai umur baligh.

Seorang anak wajib meminta izin di rumah pada saat hendak menemui kedua orang tua kapan pun dan di mana pun serta setiap kali mendapati pintu (kamar orang tua) dalam keadaan tertutup. Sebagaimana dalam surat An-Nur: 58-59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu.

Ayat tersebut menjelaskan tentang anjuran kepada para budak milik dan anak-anak yang belum baligh untuk permisi minta izin ketika hendak masuk menemui majikan atau kedua orang tua pada tiga waktu, yaitu sebelum salat shubuh, qailuulah (istirahat siang) pada tengah hari dan setelah Isya.

Wahbah Zuhaili mengutip pendapat Abu Bakar ar-Razi al-Jashshash yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa orang  yang belum baligh, tetapi sudah berakal (mumayyiz) sudah mulai diperintahkan menjalankan syariat dan dilarang melakukan perbuatan-perbuatan buruk, salah satunya yaitu perintah meminta izin pada tiga waktu tersebut.

Permisi minta izin dalam ruang lingkup keluarga hanya dikhususkan pada tiga waktu tersebut karena lazimnya pada waktu-waktu tersebut orang biasanya tidak begitu lengkap berpakaian dan ada bagian aurat yang mungkin terbuka.

Ayat ini juga merupakan bentuk pendidikan dan pengajaran sekaligus melatih, mempersiapkan dan membiasakan mereka. Jika telah baligh kelak, mereka sudah terbiasa dan terasa lebih ringan melakukannya.

Oleh karena itu, Islam mendorong untuk mengajarkan anak-anak tentang adab meminta izin agar tidak terjadi hal mudharat seperti perilaku seks menyimpang, karena melihat aurat akan membekas di hati si kecil sebagai hal yang negatif sehingga akan merusak jiwa dan syarafnya ketika dewasa (Al-Maghribi, 2004: 336).

Selain itu, wajib bagi kedua orang tua untuk menutup aurat mereka di setiap waktu untuk membantu seorang anak menyeimbangkan naluri mereka dan tidak melebihkannya. Inilah salah satu bentuk pengajaran seks yang perlu diberikan kepada anak

Pengajaran nilai-nilai maskulin dan feminin pada anak dapat dilakukan dengan cara memisahkan tempat tidur mereka. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud  Juz 1 nomor 495 :

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاء سَبْعَ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَاوَهُمْ أَبْنَاء عَشَرَ سِنِيْن وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعْ

“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika meninggalkannya bila berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”

Al-Maghribi mengutip pernyataan Al-Alamah Syah ad- Dahlawi bahwa pemisahan tempat tidur diperintahkan karena umur mereka pada saat itu mendekati baligh dan jika tidurnya tidak dipisah maka tidak mustahil akan membangkitkan syahwat, oleh karenanya harus ada pencegahan.

Hal ini menunjukkan bahwa tidur satu ranjang dapat mengakibatkan timbulnya naluri seksual dan hal ini harus disadari oleh kedua orang tua sehingga dilakukan pencegahan dini agar tidak terjadi penyimpangan hingga berkelanjutan.

Seorang anak harus dididik tentang kebiasaan menundukkan pandangannya dari segala hal terkait aurat sejak kecil. Sebagaimana dalam surat An Nur ayat 31:

يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا …

“……Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”

Ayat di atas menjelaskan tentang perintah bagi laki-laki dan perempuan yang paling utama adalah  menjaga penglihatan mata dan memelihara kemaluan atau kehormatan diri. Ibnu Katsir berkata bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya  untuk menundukkan pandangan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan bagi mereka.

Mereka tidak memandang, kecuali pada apa yang diperbolehkan bagi mereka dan untuk menundukkan pandangan dari yang diharamkan, apabila kebetulan memandang kepada yang haram tanpa disengaja, maka langsung memalingkan pandangannya secepat mungkin.

Kata yaguddu terambil dari kata ghadda yang berarti “menundukkan” atau “mengurangi”, maksudnya adalah mengalihkan arah pandangan serta tidak memantapkan pandangannya dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau tidak baik.

Oleh karena itu banyak terjadi kesalahan akibat penglihatan, salah satunya perzinaan, maksudnya adalah berawal dari pandangan kemudian dapat berlanjut ke arah yang dapat menimbulkan syahwat sehingga mengarah pada perbuatan zina.

Melalui ayat ini, para orang tua diperintahkan untuk membimbing, mengawasi dan mengontrol segala aktivitas anak, terutama dalam hal melihat atau menonton tayangan dan peristiwa yang sifatnya vulgar dan cenderung mengarah pada seksual.

Sebab, apa saja yang dilihat oleh anak-anak akan terekam dalam pikirannya. Jika orang tua selalu mengajarkan anak untuk menundukkan pandangannya sejak dini, maka naluri terhadap nafsu seksualnya tidak segera matang dan mencegah anak dari perilaku-perilaku seksual yang merugikan.

Seorang anak harus dididik menutupi aurat sejak kecil. Sebagaimana dalam surat An Nur ayat 31

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya

Ayat ini menunjukkan perintah untuk menutupi aurat bagi laki-laki dan perempuan. Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah seorang laki-laki bergabung dengan laki-laki lain dengan satu kain serta janganlah seorang wanita bergabung dengan wanita lain dengan satu kain (HR. Muslim).

Dalam upaya mencegah perzinaan, maka laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menutupi aurat dengan batas-batas yang telah ditentukan dalam syariat. Pengajaran menutup aurat ini merupakan hal penting yang harus diajarkan kepada anak-anak dalam keluarga.

Muhammad Nur bin Abdul Hafidz As-Suwayd menyatakan bahwa masalah tentang menutup aurat ada kesamaan dengan waktu diperintahkannya shalat. Adanya pengajaran tersebut dapat menumbuhkan rasa cinta bagi anak untuk menutup aurat sejak kecil dan menjadikan ibadah shalatnya sempurna.

Hal ini menjukkan bahwa anak laki-laki harus dididik untuk menutupi auratnya, demikian juga seorang anak perempuan untuk membiasakan memakai hijab.  Salah satu contohnya adalah perintah bagi anak yang sudah memasuki mumayyiz untuk menutupi auratnya saat berada di tempat umum.

Anak-anak harus ditanamkan rasa malu jika mereka memakai pakaian yang terbuka dan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang dikhawatirkan mendorong perilaku menyimpang dari orang lain. Pengajaran ini diberikan hingga anak-anak tumbuh dengan benar, baik dan terbina akhlaknya.

Demikianlah prinsip-prinsip pendidikan identitas seksual kepada anak yang Allah perintahkan dan Nabi ajarkan. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

Penulis: 

Amin Nurridla, S.Pd.I.